GfWlGUW8TfGiBSGiTUW0GfGlGA==

Membaca Indonesia Ramah dari Kacamata Eksistensialisme


Indonesia Ramah


Dikenalnya Indonesia sebagai bangsa yang ramah sudah bukan rahasia. Dilansir dari situs World Population Review, Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai negara paling ramah di dunia. 

Peringkat tersebut didapat dari hasil survei terhadap para ekspatriat dengan jumlah lebih dari 1200 responden yang memiliki 174 kebangsaan dan tinggal di 186 negara.

Predikat "bangsa yang ramah" menjadi keunggulan tersendiri bagi bangsa Indonesia, terutama bagi sektor pariwisata. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap jumlah kunjungan wisatawan mancanegara.

Imbasnya kunjungan wisatawan yang meningkat akan berkorelasi positif terhadap tambahan pundi-pundi pendapatan negara.

Keramahan bangsa Indonesia tidak hanya dirasakan oleh wisatawan mancanegara. Sebagai penduduk lokal, kitalah yang utama dan pertama dalam merasakan manfaatnya.

Keramahan masyarakat menjadi salah satu faktor kunci untuk mengetahui tingkat keamanan dan kenyamana tinggal di suatu daerah. Apalagi bagi seorang perantau.

Bangsa Indonesia yang dikenal ramah tidak terbentuk dari 5 atau 10 tahun terakhir. Namun, sifat ramah ini telah terbentuk sejak lama, diwariskan dari generasi ke generasi. Dari puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun ke belakang. Bukan merupakan sebuah hasil yang instan.

Akan tetapi, ada beberapa pertanyaan yang kemudian muncul. Apakah sifat ramah ini merupakan sifat asli bangsa Indonesia? Dan apakah sepuluh, dua puluh, atau lima puluh tahun ke depan kita akan tetap dikenal sebagai bangsa yang ramah?

Pertanyaan tersebut akan coba dijawab dari sudut pandang eksistensialisme. Namun, sebelum itu mari kita mengenal terlebih dahulu sedikit tentang apa itu eksistensialisme.


Mengenal Apa itu Eksistensialisme

Apa itu eksistensialisme ? Eksistensialisme merupakan sebuah pemahaman filsafat yang menekenakan pada kebebasan manusia serta tanggung jawab di dalamnya.

Lebih lanjut, eksistensialisme mengatakan bahwa hakikat manusia tidak terletak pada esensinya, tetapi ada atau terletak pada eksistensinya.

Manusia tidak seperti benda yang dapat didefinisikan. Manusia adalah apa yang ia ingini dan apa yang ia bentuk terhadap dirinya sendiri.

Ambillah contoh perbandingannya dengan sebuah benda, misalnya saja meja. Ketika sebuah meja dibuat maka meja itu telah didefinisikan oleh pembuatnya, telah ditentukan kegunaan dan fungsinya, telah ditentukan konsepnya. Maka, ketika kita melihat meja, kita akan langsung tahu meja itu apa, kegunaannya untuk apa.

Sedangkan manusia, ia tidak bisa di definisikan. Manusia tidak memiliki sifat bawaan. Pun tidak membawa nilai baik atau buruk.

Nilai baik dan buruk yang melekat pada diri seorang manusia merupakan hasil dari eksistensi yang telah dibangun sebelumnya.

Dalam pemahaman eksistensialisme, manusia adalah makhluk bebas. Dan dengan kebebasannya ia harus mampu membentuk dirinya sendiri. Ia ingin menjadi seperti apa, ingin dikenal sebagai dan seperti apa, harus dikonsepkan oleh dirinya sendiri.

Sebagai makhluk bebas artinya manusia bebas melakukan apa saja yang ia kehendaki. Tidak memandang nilai baik dan buruk. Namun, dengan segala kebebasannya ia dikutuk dengan tanggung jawab penuh atas hidupnya.

Inilah yang kemudian ditekankan oleh eksistensialisme. Manusia menanggung penuh efek dari kebebasannya.

Akan tetapi, ada satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa, segala keputusan yang diambil oleh seorang manusia akan memiliki dampak terhadap orang lain. 

Artinya, manusia tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab atas hidup orang lain di sekitarnya.


Eksistensialisme dan Kaitannya Dengan Indonesia Ramah

Jika kita mencoba menerapkan teori eksistensialisme pada level yang lebih tinggi yaitu suatu masyarakat. Maka esksisnya suatu masyarakat sangat tergantung pada eksistensi tiap-tiap individu di dalamnya. 

Nah, sekarang kita akan coba mengaitkan eksistensialisme dengan ramahanya bangsa Indonesia. 

Kalau kita berkaca kepada eksistensialisme, di mana hakikat manusia adalah eksistensi yang dibangun oleh dirinya sendiri. Maka, sifat ramah bangsa Indonesia bukan merupakan suatu sifat yang asli. Melainkan suatu sifat yang dibangun dari eksistensi tiap-tiap individu di dalamnya.

Kita tidak bisa mengatakan "Indonesia itu aslinya ramah atau sebagainya", tidak ada aslinya.  Namun, itu semua adalah hasil dari eksistensi yang telah dibentuk lama sejak zaman nenek moyang kita. Mereka membentuk dirinya sebagai orang yang ramah.

Pembentukan eksistensi ini kemudian menurun dari generasi ke generasi. Sehingga kini bangsa indonesia di kenal dan eksis sebagai bangsa yang ramah di mata dunia.

Sekarang kita dapat menjawab pertanyaan di atas bahwa sifat ramah bukanlah sifat asli yang melekat pada bangsa Indonesia, melainkan sifat yang dibangun dari eksistensi tiap individu di dalamnya.

Karena pada hakikatnya manusia tidak memiliki esensi, tetapi eksistensi. Manusia adalah makhluk bebas yang bisa menentukan konsep dirinya sendiri. Dan dengan kebebasannya manusia mampu menjadi seperti apa pun.


Apakah Ke depan Indonesia Masih Bangsa Yang Ramah?

Bagaimana dengan pertanyaan berikutnya. Apakah sepuluh, dua puluh, atau lima puluh tahun ke depan akankah Indonesia masih dikenal sebagai bangsa yang ramah? 

Itu semua tergantung pada eksistensi masyarakat indonesia saat ini dan ke depannya. Bagaimana kemudian tiap individu akan membentuk eksistensi dirinya sendiri. Serta ingin mengkonsepkan seperti apa dan menjadi apa dirinya tersebut.

Fenomena saat ini khusunya di media sosial, dilansir dari situs berita cnnindonesia.com, kita dapati data bahwa netizen indonesia merupakan yang paling tidak sopan di Asia Tenggara dalam bermedia sosial.

Kenyataannya, jika kita melihat media sosial hari ini, banyak sekali kolom-kolom komentar yang dipenuhi oleh orang-orang yang gampah marah, suka gegeran, dan saling menghina. Dan tak jarang semua itu berujung pada aksi tawuran di dunia nyata.

Belum lagi masyarakat kita saat ini sering terlibat konflik kepentingan. Apalagi ketika datang masa-masa pemilu. Kita menjadi masyarakat yang mudah terpecah dan saling serang hanya karena beda pilihan politik.

Fenomena yang kita lihat hari ini seolah-olah bangsa ini, masyarakat kita pada hari ini sedang membentuk esksitensinya yang baru. Yaitu eksis sebagai orang yang suka marah, saling menghina, dan gampang emosi.

Maka jawaban dari pertanyaan di awal, apakah sepuluh, dua puluh, atau lima puluh tahun ke depan akankah Indonesia masih dikenal sebagai bangsa yang ramah? Adalah sangat bergantung pada eksistensi yang dibangun oleh individu dan masyarakat kita hari ini.

Bukan tidak mungkin di masa depan nanti eksistensi bangsa Indonesia akan bergeser dari bangsa yang ramah menjadi bangsa pemarah.

***

Sekali lagi, dan perlu diingat bahwa bangsa kita ke depannya akan eksis seperti apa semata-mata bergantung pada apa yang kita bentuk hari ini. Kalau misal kita tetap ingin dikenal sebagai bangsa yang ramah. Maka eksislah sebagai orang yang ramah. Jangan lagi suka gegeran, gampang marah, ndak sopan, dan suka menghina.

Yo, kita sama-sama hari ini untuk saling tafakur, saling mawas diri. Apakah hari ini kita sudah menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang ramah?



Sumber gambar: Photo by Tyler Morgan on Unsplash

0Komentar

Special Ads
Special Ads